Kamis, 23 September 2010

"Green Bank" Indonesia.

KETERKAITAN GREEN BANK DENGAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
Oleh: Sakariza Qori Hemawan, Praktisi Perbankan.

Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) akhir-akhir ini menjadi salah satu isu global yang sangat popular. Indonesia merespon hal tersebut dengan komitmen untuk menerapkan pembangunan yang berbasiskan pada 3P atau profit, planet dan people. Komitmen tersebut dipertegas antara lain melalui deklarasi yang dilakukan di Tampak Siring, Bali. Melalui deklarasi tersebut pemerintah Indonesia berkomitmen untuk lebih serius menjalankan konsep pembangunan berkelanjutan. Hal itu ditandai dengan rencana kerja pemerintah yang didominasi semangat untuk lebih peduli terhadap lingkungan. Sementara itu, dalam konteks pembangunan nasional, perbankan memegang peran yang krusial dalam pembiayaan pembangunan tersebut Oleh karena itu guna mencapai pembangunan berlanjutan yang berbasis 3P, diperlukan adanya bank yang menerapkan bisnis hijau (green business) dalam operasionalisasinya maupun melalui produk dan jasa yang ditawarkan kepada masyarakat atau disebut Green Bank. Namun demikian, ternyata hingga saat ini belum ada satupun bank yang mendeklarasikan sebagai Green Bank di Indonesia. Tulisan singkat ini akan mengulas, mengapa hal itu terjadi dan seberapa besar implementasi Green Bank di Indonesia?

I. Pembangunan Berkelanjutan
Pembangunan kadang menimbulkan ‘konflik kepentingan’ antara kesejahteraan ekonomi dengan pelestarian lingkungan, baik lingkungan alam (nature) maupun sosial masyarakat (society). Hal itu diperkuat dengan fakta yang menunjukkan bahwa masih banyak negara yang melakukan pembangunan dengan mengorbankan faktor lingkungan demi mengejar keuntungan secara ekonomi saja (single bottom line development).
Pembangunan yang hanya berorientasi pada maximizing growth bersifat eksploitatif dan berdimensi jangka pendek. Sementara itu pembangunan nasional harus berorientasi jangka panjang atau dikenal dengan pembangunan berkelanjutan agar selaras, serasi dan seimbang antara 3 (tiga) pilar utama pembangunan dikenal dengan 3P yaitu ekonomi (profit), lingkungan (planet) dan sosial (people). Dengan demikian pembangunan berkelanjutan harus mengedepankan ketiga faktor tersebut (triple bottom line development) seperti yang dijelaskan pada Gambar 1 berikut ini.

1 Praktisi Perbankan
Economic Review ● No. 219 ● Maret 2010

1
EkonomiLingkunganSosial•Pertumbuhan•Stabilitas•Efisiensi•Sumberdayaalam•Pencemaran•Keanekaragamanhayati•Kemiskinan•Kesenjangan•Budaya􀀹Internalisasi􀀹Valuasi􀀹Pemberdayaan􀀹Keadilandlmgenerasi􀀹Keadilanantargenerasi􀀹PartisipasimasyarakatEkonomiLingkunganSosial•Partisipasimasyarakat
Gambar 1. Tiga Pilar Pembangunan Berkelanjutan
Sumber : Sudariyono, Seminar Nasional – LEAD Indonesia, Jakarta, 2010

Tabel 1. Arahan Presiden RI untuk Pembangunan 2010 - 2014
No.
Arahan Presiden
Triple Bottom Line
1
Pertumbuhan ekonomi harus lebih tinggi
Profit
2
Pengangguran harus menurun dengan menciptakan lapangan kerja lebih banyak
People
3
Kemiskinan harus makin menurun
People
4
Pendapatan per kapita harus meningkat
People
5
Stabilitas ekonomi harus terjaga
Profit
6
Pembiayaan dalam negeri harus lebih kuat dan meningkat
People
7
Ketahanan pangan dan air meningkat
Planet
8
Ketahanan energi meningkat
Planet
9
Daya saing ekonomi nasional makin menguat dan meningkat
Profit
10
Perkuat Green economy atau ekonomi ramah lingkungan
Planet
Sumber : Rapat Kerja Presiden Istana Tampaksiring, Bali pada 19 – 21 April 2010

Konsep pembangunan berkelanjutan tersebut disadari oleh pemerintah saat ini, sehingga dalam Rapat Kerja yang dilakukan di Istana Tampak Siring Bali pada 19 – 21 April 2010, Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menekankan 10 arahan guna mendorong pembangunan ekonomi nasional untuk periode 2010 – 2014. Arahan yang dikenal dengan Deklarasi Tampak Siring tersebut sarat dengan spirit pembangunan berkelanjutan, yang ditandai dengan filosofi triple bottom line dalam pembangunan lima tahun mendatang seperti dijelaskan pada Tabel 1 diatas.

Deklarasi tersebut diperkirakan akan kurang memiliki dukungan politis (dari parlemen) yang cukup kuat. Hal itu disebabkan oleh potensi pergantian rezim di Indonesia yang cukup besar, sementara arahan mempunyai jangka waktu yang relatif pendek dan masih perlu ditindaklanjuti dengan ketentuan, peraturan maupun instruksi Economic Review ● No. 219 ● Maret 2010

2
lebih lanjut. Namun demikian deklarasi tersebut dipastikan akan mendapat dukungan baik secara nasional maupun dari dunia global, karena :
􀀹 Berorientasi pada pembangunan berkelanjutan atau menggunakan pola pembangunan yang berpihak pada pertumbuhan (pro-growth), berpihak pada rakyat (pro-poor), penyediaan tenaga kerja (pro-job) dan pembangunan lingkungan (pro-environment).
􀀹 Selaras dengan komitmen Indonesia pada dunia internasional untuk menurunkan emisi karbon 26% (berasal dari 14% sektor tata guna lahan dan kehutanan, 6% sektor energi serta 6% sektor limbah), sehingga tidak ada pilihan lain agar Indonesia harus lebih serius menggarap ekonomi hijau.
Ekonomi hijau (salah satu butir dalam deklarasi) merupakan visi yang meninggalkan praktek ekonomi yang hanya mementingkan keuntungan jangka pendek dan berdampak negatif pada lingkungan, menjadi praktek ekonomi yang ramah lingkungan (environmental sound economy). Dengan demikian dapat dipastikan bahwa Indonesia akan menjadi negara yang berorientasi pada pembangunan berkelanjutan yaitu pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa harus mengorbankan kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhannya sendiri (World Commission of Environment and Development, WCED, 1987).

II. Peran Perbankan
Indonesia termasuk negara yang memiliki pertumbuhan pembangunan relatif pesat. Hal tersebut ditunjukkan oleh indikator pertumbuhan ekonomi rata-rata 5% per tahun dan kondisi perekonomian makro Indonesia yang kondusif dalam beberapa tahun terakhir, yang tentunya tidak lepas dari peran perbankan sebagai penggerak ekonomi nasional.
Tabel 2. Kinerja Perbankan Indonesia
Indikator Kinerja
2006
2007
2008
2009
KEUANGAN (Rp. Miliar):
Aset
1.693.850
1.986.501
2.310.557
2.534.106
Laba (EBT)
40.555
49.859
48.158
61.784
Kredit
792.297
1.002.012
1.307.688
1.437.930
DPK (Dana Pihak Ketiga)
1.287.102
1.510.834
1.753.292
1.973.042
Dana Murah
671.939
844.126
928.587
1.071.333
FBI (Fee Based Income)
38.081
43.616
60.286
64.430
RASIO (%) :
NIM (Net Interest Margin)
5,8
5,7
5,7
5,6
CAR (Capital Adequacy Ratio)
21,3
19,3
16,8
17,4
ROA (Return on Asset)
2,6
2,8
2,3
2,6
LDR (Loan to Deposit Ratio)
61,6
66,3
74,6
72,9
NPL (Non Performing Loan)
6,1
4,1
3,2
3,3
BOPO (Biaya Opr / Pend Opr)
87,0
84,1
88,6
86,6
Sumber : Statistik BNI, 2010
Economic Review ● No. 219 ● Maret 2010

3
Perbankan Indonesia memiliki kinerja meningkat, direpresentasikan oleh trend beberapa indikator kinerja yang terus membaik, seperti disampaikan pada Tabel 2 tersebut. Secara singkat tabel tersebut menjelaskan bahwa pertama, perbankan Indonesia berada dalam momentum pertumbuhan yang dapat dilihat dari peningkatan secara pesat pada aset, kredit, dana pihak ketiga dll, dan kedua, fungsi intermediasi telah berjalan (LDR>70%).
Peran perbankan dalam pembangunan tidak diragukan lagi. Namun pertanyaan kritis adalah sejauh mana perbankan turut andil dalam pembangunan berkelanjutan. Meski tidak ada data yang mendukung, diyakini bahwa kontribusi perbankan masih relatif rendah dalam hal penerapan bisnis hijau (green business).
Menurut Glen Croston (2009)2 bisnis hijau merupakan konsep bisnis yang menguntungkan karena dapat memberi keuntungan dan skala ekonomi yang memadai sehingga sangat bermanfaat bagi kelangsungan usaha secara keseluruhan. Dalam konteks perbankan, bisnis hijau terutama dipersepsikan dengan penyaluran kredit yang ramah lingkungan atau dikenal dengan istilah kredit hijau (green lending). Kredit hijau dapat diartikan sebagai fasilitas pinjaman dari lembaga keuangan kepada debitur yang bergerak di sektor bisnis yang tidak berdampak pada penurunan kualitas lingkungan maupun kondisi sosial masyarakat.
Permasalahannya adalah perbankan Indonesia umumnya masih enggan untuk memberi perhatian lebih besar terhadap permasalahan lingkungan. Hal itu terkait dengan paradigma lama yang menyebutkan bahwa bank sebagai entity business, dimaksudkan untuk mencetak laba setinggi-tingginya. Hal tersebut diperparah dengan persepsi bahwa peduli terhadap lingkungan hanya membebani perusahaan (just another cost).
Fenomena perbankan tersebut juga dialami oleh sebagian besar perusahaan di Indonesia. Menurut Rofikoh Rokhim (2009)3 hanya sebagian kecil perusahaan di Indonesia yang menerapkan bisnis hijau dalam model bisnisnya, dan itupun belum optimal. Hal itu juga sesuai dengan hasil survei Asian Corporate Governance Association (ACGA), pada 2008, yang menyatakan bahwa perusahaan-perusahaan di Asia adalah yang paling kurang memberikan perhatian pada penerapan Good Corporate Governance (GCG) termasuk di dalamnya terkait dengan prinsip dan praktek pengelolaan lingkungan yang baik. Bahkan perusahaan di Indonesia mendapatkan nilai di bawah rata-rata untuk kawasan Asia (menempati posisi 135 dari total 175 negara). Kondisi ini jauh berbeda jika dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan di negara-negara kawasan lain yang memasukkan isu lingkungan dalam blue print bisnis mereka.
2 Croston, Glen, 2009, Starting Green : From Business Plan to Profit, Enterpreneur Media Inc. Canada
3 Rokhim, Rofikoh, 2010; Green Business : Strategi Pembangunan Berkelanjutan Bagi Perusahaan. Makalah Seminar Nasional Green Business; A Global New Deal, A Shifting of Economics Paradigm, Jakarta. Economic Review ● No. 219 ● Maret 2010
4

III. Green Bank di Indonesia
Bank dan lingkungan selama ini dianggap sebagai dua sisi yang berbeda, bahkan dalam banyak hal dinilai saling bertentangan. Menurut pandangan konvensional, bank adalah profit making institution sehingga kepedulian terhadap lingkungan bukan merupakan kompetensi utama bank. Alasannya, sebagai services intitution operasional bank tidak berdampak langsung terhadap lingkungan, seperti halnya perusahaan tambang, transportasi dan manufaktur.
Sementara itu, seiring dengan meningkatnya kesadaran akan kemungkinan bahaya dari perubahan iklim (climate change) maupun perubahan lingkungan yang ekstrim, dewasa ini tumbuh gaya hidup baru (life style global) yaitu kepedulian terhadap lingkungan. Bank sebagai institusi bisnis seyogyanya merespon hal tersebut dengan merubah paradigma berbisnis (shifting paradigm) yaitu dengan melakukan Green Business.
Short TermLong TermRevenueCostRiskIntangibleShort TermRevenueCostRiskIntangible
Gambar 2. Green Business Framework
Sumber : Esty & Winston (2009)

Daniel Esty dan Andrew C Winston, dalam buku yang berjudul ‘How smart company use environmental strategy to innovate create value and build competitive advantage’, menjelaskan bahwa perusahaan yang melakukan bisnis hijau akan menjadi lebih lestari (sustain), seperti dijelaskan dalam Gambar 2 di atas.
Dengan menggunakan pola pikir gambar diatas, maka bank yang berorientasi jangka pendek hanya mampu meningkatkan pendapatan (revenue) yang bersifat tangible dan mengurangi biaya (cost) saja. Sementara itu bank yang berorientasi jangka panjang, akan melakukan bisnis hijau, tidak hanya menekan biaya namun juga mampu menekan potensi risiko. Selain itu tidak hanya mendapatkan keuntungan keuangan saja namun juga akan mendapatkan keuntungan jauh lebih besar dari sisi intangible misal citra positif dan kepercayaan dari stake holders yang pada akhirnya tentu akan berpengaruh pada peningkatan kinerja.
Economic Review ● No. 219 ● Maret 2010

5
Dalam konteks bisnis perbankan, bisnis hijau dapat memuat beberapa aspek antara lain:

1) Memiliki budaya kerja ramah lingkungan (green attitude), seperti melakukan pengelolaan sampah (waste management) yang produktif dan melakukan efisiensi antara lain ditunjukkan oleh semakin berkurangnya biaya listrik, kertas, air dan bahan bakar secara konsisten.

2) Memiliki eco product, misal portfolio kredit yang cukup besar pada sektor ramah lingkungan dan produk tabungan yang berafiliasi dengan rekening organisasi lingkungan (LSM, pemerintah, swasta) serta dipercaya khususnya oleh lembaga pemerintah maupun internasional untuk mengelola dana yang akan dialokasikan untuk usaha atau proyek peningkatan kualitas hidup masyarakat dan lingkungan hidup.

3) Kepuasan pegawai meningkat karena sejalan dengan meningkatnya visi pegawai yang memiliki gaya hidup hijau. Selain itu pegawai akan ditantang untuk meningkatkan inovasi dan kreativitas guna menciptakan eco product yang bernilai tambah dan berbeda (product differentiation) dibandingkan produk pesaing. Kedua hal tersebut akan meningkatkan motivasi dan keterikatan (engagement) sehingga berdampak pada rendahnya turn over pegawai.

4) Kinerja. Adanya value dari produk tersebut akan meningkatkan loyalitas pelanggan sehingga berdampak positif pada keberlanjutan kinerja.
Bank yang menerapkan bisnis hijau disebut Green Bank yaitu bank yang berorientasi pada sustainability dalam rangka mendukung pembangunan berkelanjutan. Permasalahannya adalah sampai saat ini ternyata belum ada satupun bank di Indonesia yang mendeklarasikan dirinya atau memposisikan sebagai Green Bank, karena :

1) Regulasi. Belum adanya undang-undang atau peraturan yang tegas menyebabkan bank-bank di Indonesia masih enggan untuk mendorong dunia usaha agar lebih peduli lingkungan. Contoh paling sederhana adalah masih sedikit bank yang menambahkan persyaratan spesifik terkait dengan lingkungan. Hal itu dipandang hanya akan mempersulit penyaluran kredit, dibanding bank lain pada umumnya. Singkatnya hanya akan menciptakan ‘unequal playing field’ saja, sehingga calon debitur akan beralih pada bank lain.

2) Insentif. Tidak adanya ketentuan dan insentif dalam hal penyaluran kredit hijau, menyebabkan bank hanya akan memprioritaskan debitur yang bernilai bisnis murni saja.

3) Masyarakat. Kecenderungan sebagian besar masyarakat bermitra dengan bank adalah ditinjau dari sisi tingkat bunga. Artinya nasabah dana akan menempatkan dananya pada bank yang bersedia memberi rate tinggi, sedang debitur cenderung akan memilih bank yang memberi suku bunga rendah.
Economic Review ● No. 219 ● Maret 2010

6

4) Stake holders. Sebagian besar para pemangku kepentingan dalam perbankan Indonesia masih belum menekankan arti pentingnya bank untuk lebih peduli dengan lingkungan. Berbeda dengan di negara-negara lain, para stake holders selalu memberi ‘tekanan’ agar bank secara serius dan konsisten menerapkan bisnis hijau.

5) Sumberdaya manusia. Banker pada umumnya berlatar belakang bisnis sehingga yang menjadi orientasi utama adalah profit. Sehingga lebih banyak berorientasi pada sisi ekonomi dibanding keuntungan dalam perspektif lingkungan dan masyarakat. Selain itu masih terbatasnya referensi, kemampuan dan pengetahuan pegawai untuk melakukan inovasi yang berkaitan dengan eco product.
Meski masih banyak permasalahan yang harus diantisipasi, keberadaan Green Bank di Indonesia sudah mendesak. Hal itu terkait dengan 2 (dua) alasan utama yaitu:

1) Mendukung keberlanjutan dalam pembangunan. Suatu hal yang mustahil jika konsep pembangunan berkelanjutan tidak didukung secara menyeluruh oleh pihak-pihak yang terkait. Perbankan memiliki posisi sentral antara pihak yang surplus dana dan pihak yang membutuhkan dana. Dengan demikian perbankan mempunyai ‘posisi tawar’ dan peranan strategis untuk mengedukasi dan mendorong (encourage) masyarakat untuk turut serta mensukseskan pembangunan berkelanjutan.

2) Potensi bisnis. Bank diharapkan mencetak laba, sehingga harus mampu mengantisipasi potensi bisnis baru yang akan muncul. Adanya gaya hidup ’hijau’ akan berdampak multiplier pada meningkatnya permintaan (demand) produk-produk ramah lingkungan sebagai potensi bisnis baru. Dengan demikian jika bank memposisikan dirinya sebagai Green Bank maka akan mendapatkan lebih banyak keuntungan bisnis, misal dengan cara mendukung bisnis hijau melalui pembiayaan pada produk dan bisnis yang ramah lingkungan.

IV. Implementasi Green Bank
Beberapa contoh bank yang telah memposisikan diri sebagai Green Bank adalah Standard Chartered Bank (Inggris), HSBC (Hongkong), Credit Agricole Bank (Perancis), Doha Green Bank (Qatar) The Co-operative Bank (Inggris) dan Rabobank (Belanda). Tidak hanya di negara maju, di negara berkembang pun banyak bermunculan Green Bank misalnya, Industrial and Commercial Bank of China (ICBC), Development Bank of the Philippines (DBP) dan Banco Real of Brazil yang mendapat sustainable bank award pada tahun 2008 mengalahkan Rabobank.
Implementasi atau best practices dari contoh Green Bank tersebut adalah cukup lengkap, baik secara internal - eksternal, maupun yang terkait dengan bisnis - non bisnis. Namun demikian secara ringkas dapat disederhanakan menjadi sebagai berikut :
Economic Review ● No. 219 ● Maret 2010
7
1) Internal : menerapkan program efisiensi dan R3 (Reduce, Reused, Recycle) antara lain dengan mengoptimalkan daya inovasi dan kreativitas pegawai serta dengan memanfaatkan piranti teknologi.
2) Eksternal : mengedukasi stake holders melalui program ramah lingkungan dan menawarkan eco-product pada pelanggan.
􀀹 Corporate Social Responsibility (CSR) : melakukan kegiatan dalam rangka meningkatkan kualitas lingkungan dan pemberdayaan masyarakat atau terlibat dalam sosialisasi green business.
􀀹 Kredit : penyaluran kredit pada sektor atau industri ramah lingkungan seperti energi terbarukan (renewable energy), produk organik, industri kreatif yang memanfaatkan limbah, produk efisien (high end product), pengolah limbah, serta pertanian dan kehutanan, memberikan insentif bunga kepada debitur yang memiliki bisnis model yang ramah lingkungan, menerapkan prinsip sustainability dalam analisa kelayakan kredit debitur secara bertahap sebagai bagian klausul kredit serta dipercaya menjadi bank penyalur kredit two steps loan dari lembaga-lembaga dunia untuk proyek lingkungan.
􀀹 Dana : menyediakan produk giro, tabungan atau deposito yang berafiliasi dengan rekening komunitas lingkungan.

V. Kesimpulan

Green Bank adalah sesuatu yang dapat dikatakan ’sederhana’, yaitu merubah paradigma konvensional atau ’business as usual’ dengan paradigma lebih hemat, bersih, peduli dan bertanggungjawab kepada lingkungan hidup. Dengan menggarap potensi bisnis baru dari gaya hidup hijau, bank konvensional akan mendapat nilai tambah secara tangible yaitu meningkatnya kinerja keuangan karena lebih efisien dalam operasinya sebagai dampak dari meningkatnya loyalitas dan kepuasan nasabah dan mendapatkan dana murah dari organisasi yang bergerak dalam aktivitas lingkungan kemasyarakatan baik nasional maupun internasional. Sementara itu, secara intangible adalah meningkatnya citra positif perusahaan sekaligus menekan potensi risiko, khususnya risiko reputasi.
Economic Review ● No. 219 ● Maret 2010
8

Tidak ada komentar:

Posting Komentar